Semendonews.site - Sore itu, di sebuah warung kopi pinggir jalan, aku duduk bareng Mas Seno—wartawan senior yang sudah malang melintang di dunia jurnalistik sejak zaman masih ngetik pakai mesin tik. Obrolan kami sederhana, ditemani secangkir kopi hitam, tapi maknanya dalam.
Sambil nyeruput kopinya, Mas Seno nyeletuk,
"Kita ini wartawan, bukan sekadar konten kreator. Harusnya ada sekat yang jelas. Konten kreator mungkin yang penting viral, tapi kita? Kita mengejar kebenaran, bukan keramaian."
Aku hanya bisa mengangguk. Kata-katanya menghantam tepat sasaran.
Dia melanjutkan,
"Berita itu bukan soal cepat-cepat posting, tapi soal akurasi. Harus ada narasumber, harus bisa dipertanggungjawabkan. Jangan cuma karena mau dapet views di medsos, kita lempar opini yang belum tentu berdasar."
Sesekali ia berhenti, menatap jalanan yang mulai ramai, lalu menambahkan,
"Kadang aku bingung, sekarang ada wartawan yang sibuk di medsos, nyudutin orang, kayak jadi hakim. Padahal kita ini bukan penentu benar atau salah. Tugas kita menyampaikan, bukan menghakimi. Medsos itu bukan produk berita, Mas. Kalau kamu wartawan, ya buatlah berita yang utuh, yang bisa kasih gambaran apa yang sebenarnya terjadi."
Aku terdiam cukup lama. Kata-katanya mengendap dalam kepala.
Di tengah riuhnya zaman digital, ketika informasi berlomba jadi yang paling cepat dan paling sensasional, mungkin kita memang harus sering-sering duduk di pinggir jalan. Menyeduh secangkir kopi, dan merenungi kembali: jurnalisme itu bukan soal sensasi, tapi soal integritas.(Red)
